ADBM2-104


<<kembali | lanjut >>

JIKA gelora didalam dadanya itu mendapat pengarahan yang tepat, maka gairah yang menyala-nyala didalam dada Swandaru itu akan dapat menghasilkan sesuatu yang besar bagi Kademangannya. Tetapi jika sekedar didorong keinginannya sendiri,” berkata Sumangkar didalam hatiya.

Karena itulah, maka setelah berbincang dengan Ki Demang, ia memutuskan untuk pergi ke padepokan kecil Kiai Gringsing didekat Jati Anom.

“Kenapa guru pergi kepadepokan itu?” bertanya Sekar Mirah ketika Ki Sumangkar minta diri kepada muridnya.

“Sekedar menengok penghuni-penghuninya. Rasa-rasanya aku sudah rindu kepada Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Apalagi agaknya Ki Waskita masih tetap berada dipadepokan itu.”

Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi nampaknya ia tidak menaruh minat sama sekali kepada niat gurunya itu, meskipun ia tahu, bahwa dipadepokan kecil itu tinggal Agung Sedayu.

Sementara itu Swandaru seolah-olah acuh tidak acuh saja terhadap maksud Ki Sumangkar itu. Ketika Ki Sumangkar mengatakannya kepadanya, ia hanya mengangguk-angguk saja sambil menjawab singkat, “Silahkan Kiai.”

Meskipun demikian, Ki Sumangkar benar-benar akan berangkat ke Jati Anom atas persetujuan Ki Demang Sangkal Putung.

“Jika Kiai Gringsing tidak dapat datang ke Sangkal Putung maka pertimbangan-pertimbangannyalah yang kita perlukan. Untunglah sampai saat ini Untara yang memegang limpahan kekuasaan Sultan Pajang didaerah ini belum mencurigai perkembangan Sangkal Putung dan mengambil langkah-langkah penertiban. Jika demikian maka tentu akan timbul benturan-benturan kekuatan yang sebenarnya tidak perlu.” desah Ki Demang menyesali keadaan.

Yang menaruh perhatian atas kepergian Ki Sumangkar ke Jati Anom selain Ki Demang adalah justru Pandan Wangi. Ketika ia berdiri di tangga pendapa menjelang keberangkatan Ki Sumangkar, perempuan itu bertanya, “Apakah Ki Sumangkar akan segera kembali?”

“Ya Pandan Wangi. Aku akan segera kembali.”

“Salamku buat penghuni padepokan kecil itu,” Pandan Wangi menyambung. Kemudian, “Mudah-mudahan Kiai Gringsing menaruh perhatian terhadap perkembangan kakang Swandaru.”

Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia melihat sepercik harapan memancar dari sorot mata Pandan Wangi yang agaknya menjadi cemas pula atas perkembangan watak suminya.

Sambil mengangguk Ki Sumangkar berdesis, “Aku akan berusaha Pandan Wangi. Kiai Gringsing bukannya orang yang tidak acuh terhadap murid-muridnya.”

Pandan Wangi mengangguk kecil. Ia benar-benar menaruh harapan, agar Kiai Gringsing berada di Sangkal Putung untuk beberapa saat saja. Jika ia melihat sendiri perkembangan Swandaru, maka ia tentu tidak akan tinggal diam.

Demikianlah Ki Sumangkar pun meninggalkan Sangkal Putung dipagi hari yang segar dan cerah. Demikian matahari mulai memancar. Ki Sumangkar telah berada di punggung kudanya meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Ki Demang yang mengantarkannya sampai ke regol menarik nafas dalam-dalam, sementara Sekar Mirah yang ada di belakangnya bergumam, “Perjalanan yang tidak ada gunanya.”

Ki Demang berpaling. Namun Sekar Mirah telah meninggalkannya tanpa memberikan penjelasan apapun juga. Sementara Swandaru dan Pandan Wangi yang berdiri di tangga pendapa sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun juga meskipun Ki Demang seakan-akan dapat melihat perbedaan isi didalam relung hati masing-masing.

Ki Sumangkar yang meninggalkan Kademangan Sangkal Putung membiarkan kudanya berlari perlahan-lahan. Ia tidak tergesa-gesa untuk sampai ke Jati Anom. Bahkan ia masih sempat memperhatikan sawah dan ladang yang hijau segar, sesegar tubuh Swandaru sendiri.

Ketika terpandang olehnya parit yang mengalirkan air yang bening, rimbunnya tanaman padi dan ayunan daun kelapa di pinggir padukuhan, Ki Sumangkar tidak dapat ingkar, bahwa Swandaru agaknya akan berhasil. Apalagi dengan dentang suara pandai besi yang tidak henti-hentinya, sejak matahari terbit, sampai saatnya matahari hampir terbenam.

“Namun tentu ada celanya,” desis Sumangkar dengan kecewa.

Dalam pada itu, kudanya pun berlari semakin jauh dari Kademangan Sangkal Putung. Setelah ditinggalkannya padukuhan yang terakhir, maka Ki Sumangkar pun telah memasuki bulak yang panjang, sebelum ia akan sampai ke pinggir padang ilalang dan hutan perdu.

Namun tiba-tiba saja Sumangkar mengerutkan keningnya ketika ia melihat dikejauhan dua ekor kuda yang berlari kencang. Kecurigaannya pun kemudian tumbuh ketika ia menyadari bahwa dua ekor kuda itu tidak berlari dijalan yang lapang, tetapi menyusur menurut lorong sempit yang akan melintasi hutan.

Hampir diluar sadarnya Ki Sumangkar mempercepat lari kudanya, seakan-akan hendak menyilang kedua ekor kuda bertari kencang itu. Namun jaraknya memang terlalu jauh, sehingga Ki Sumangkar hanya dapat memandanginya saja ketika dua ekor kuda itu melintas jalan yang akan dilaluinya.

“Bukan prajurit Pajang di Jati Anom,” desisnya.

Menilik pakaiannya, keduanya memang bukan prajurit. Keduanya agaknya saudagar atau petani kaya yang sedang bepergian.

“Nampaknya tergesa-gesa sekali,” desis Ki Sumangkar.

Namun tiba-tiba perhatiannya telah terampas lagi oleh dua orang penunggang kuda yang lain. Juga tergesa-gesa seperti penunggang yang terdahulu, sedangkan ujud lahiriahnya, keduanya pun menyerupai kedua orang yang baru saja menyilang jalan.

Ki Sumangkar termangu-mangu. Diluar sadarnya ia bergumam, “Siapa lagi mereka berdua itu?”

Namun ia tidak dapat mencegah keinginannya untuk mengetahui serba sedikit kedua orang berkuda itu. Sehingga karena itu, maka ia pun memacu kudanya kembali.

Kali ini Ki Sumangkar tidak terlambat. Ia berhasil mencapai jalan kecil yang menyilang jalan yang sedang dilaluinya, dan bahkan menghentikan kudanya beberapa langkah di sebelah jalan kecil itu sambil menunggu.

Kedua orang yang sedang berpacu itu memandang Ki Sumangkar sekilas. Tetapi nampaknya keduanya sama sekali tidak menghiraukannya, sehingga mereka tidak mengurangi kecepatan lari kudanya.

Ki Sumangkar tidak senang melihat sikap itu. Karena itu maka kudanya pun diajukannya lagi beberapa langkah sehingga kuda itu berdiri tepat dimulut lorong kecil itu.

Kedua penunggang kuda itu terkejut. Dengan serta merta keduanya menarik kekang kudanya, sehingga kudanya yang terkejut itu pun meringkik keras-keras sambil berdiri dikedua kaki belakangnya.

“Kau gila,” teriak salah seorang dari keduanya, “apakah kau sudah jemu melihat sinar matahari? Jika kudaku yang tegar ini melanggarmu, maka kau akan terpelanting dan mati seketika.”

Ki Sumangkar mengangguk hormat sambil berdesis, “Maaf Ki Sanak. Kudaku memang sulit dikendalikan.”

“Sekarang minggir,” teriak yang lain.

Tetapi Sumangkar tetap berada ditempatnya sambil berkata, “Tetapi perkenankanlah aku memperkenalkan diriku.”

“Itu tidak perlu,” salah seorang dari keduanya berteriak lebih keras. “Minggir.”

“Jangan berteriak Ki Sanak. Jika suaramu didengar oleh orang-orang yang sedang berada di sawahnya, mereka akan terkejut dan berlari ketakutan.”

Ketenangan Ki Sumangkar ternyata telah menarik perhatian mereka. Tidak banyak orang yang dapat bersikap setenang itu, jika ia bukan orang yang memiliki kepercayaan yang tebal terhadap diri sendiri.

“Apakah maksudmu Ki Sanak,” bertanya salah seorang dari mereka dengan nada menurun.

Ki Sumangkar memandang keduanya berganti-ganti.Lalu ia pun kemudian bertanya, “Akulah yang harus bertanya, siapakah kalian.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. lalu yang seorang menjawab, “Aku datang dari Kademangan Panggung menuju ke Prambanan. Nah. minggirlah.”

“Nanti dulu,” jawab Sumangkar.

“Siapa kau? Siapa? “ Yang seorang bertanya dengan geram.

“Namaku Sumangkar. Aku adalah salah seorang pengawal dari Kademangan Macanan.”

“Apa maksudmu?”

“Aku hanya ingin mengetahui, apakah maksudmu sebenarnya. Perjalananmu nampak sangat tergesa-gesa.”

Kedua orang itu menjadi tegang. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mulai membakar jantung.

Dengan suara yang gemetar salah seorang dari mereka berkata, “Ki Sanak. Apakah hakmu untuk mengetahui siapa dan apakah yang akan aku lakukan?”

“Aku adalah pengawal Kademangan Macanan. Macanan sekarang sedang diganggu oleh kejahatan-kejahatan yang hampir merata. Karena itu, aku harus mencurigai setiap orang yang lewat didaerah Macanan.”

Wajah orang itu menjadi semakin merah oleh kemarahan yang menghentak didadanya. Salah seorang dari keduanya menggeram, “Pengawal yang gila. Seandainya kau pengawal yang mumpuni dari Kademangan Macanan, dan seandainya aku seorang penjahat seperti yang kau sangka, apakah yang dapat kau lakukan sekarang?”

Yang lain tiba-tiba saja menyahut, “orang dungu. Apakah kau tidak menyesal bahwa dengan demikian kau sudah menuduh kami, bahwa kami adalah dua orang penjahat yang kau maksud?”

“Jangan salah paham Ki Sanak,” Sumangkar masih tetap tenang, “aku hanya menjalankan tugasku. Semua orang asing mendapat perlakuan yang sama, sehingga sebenarnyalah aku sama sekali tidak menuduh kalian sebagai penjahat yang dimaksud mengganggu Kademangan ini. Tetapi agar jelas bagi kami, orang-orang Macanan, katakanlah, siapakah kalian, dari mana dan hendak kemana?”

“Minggir orang tua gila,” seorang dari keduanya berteriak, “aku dapat membunuhmu dengan sekali pukul.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia tahu bahwa orang itu benar-benar memiliki kemampuan. Namun kecurigaannya semakin menjadi-jadi karena sikap keduanya.

“Aku mohon maaf. Jika kalian mengatakan bahwa kalian akan pergi ke Jati anom menemui Senapati didaerah ini, aku akan menyingkir, karena dengan demikian kalian adalah prajurit-prajurit Pajang dalam tugas sandi.”

Tiba-tiba saja tanpa berpikir, salah seorang dari keduanya menjawab, “Ya. Kami akan menghadap Senapati Untara.”

“O,” Sumangkar mengangguk angguk, “jika demikian aku akan menyingkir untuk memberi jalan kepada kalian berdua. Dan kita akan berjalan bersama-sama ke Jati Anom. Sebenarnyalah akupun akan menghadap Ki Untara untuk melaporkan keadaan Kademangan Macanan seperti yang kami lakukan setiap sepekan sekali untuk mengetahui perkembangan keamanan di daerah kami.”

“Gila,” orang itu berteriak. Ia tidak mengira sama sekali bahwa orang tua itu akan mengikutinya. Namun dengan demikian maka kemarahan kedua orang itu sudah tidak tertahankan lagi. Salah seorang dari keduanya kemudian menggeram, “Pengawal tua. Mungkin kau mengira bahwa pengawal Kademangan akan mampu menahan kami. Ketuaanmu, ketenanganmu, memang nampaknya meyakinkan. Mungkin kau bekas seorang prajurit yang kemudian menjadi pemimpin pengawal Kademangan, atau seorang bekas penjahat ulung yang sudah tidak mampu lagi berburu dimedan yang luas, sehingga terpaksa kembali kekampung halaman dan kembali memegang tangkai cangkul sambil menebus dosa, menjadi pengawal Kademangan.” ia berhenti sejenak, “namun jangan mimpi bahwa kau akan dapat berbuat sesuatu atas kami. Apalagi kami sekarang berdua.”

Sumangkar tersenyum, katanya, “Darimana kau tahu tentang diriku Ki Sanak. Aku memang bekas seorang penjahat yang disebut Banaspati. Dan aku memang sedang menebus dosa. Karena itu, Kademangan Macanan untuk waktu yang lama tidak pernah diganggu oleh kejahatan. Jika sekarang kejahatan itu timbul, maka itu adalah suatu penghinaan kepada Sumangkar yang pernah digelari Banaspati.”

Kemarahan yang sangat telah menghentak dada kedua orang berkuda itu. Demikian sesaknya dada mereka, sehingga tiba-tiba saja salah seorang tertawa menghentak untuk melepaskan kepepatan hati sambil berkata, “Apakah kau sudah bersiap untuk mati? Ternyata kau benar-benar keras kepala. Tetapi agaknya kau sudah cukup lama hidup mengalami seribu macam corak kehidupan, sehingga sekarang kau benar-benar ingin mati.”

“Sudahlah Ki Sanak. Marilah, kita akan pergi ke Jati Anom. Bukankah Ki Sanak akan menghadap Senapati Untara ?”

Kedua orang yang marah itu saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang dari keduanya menggeram, “Minggir orang gila, atau aku harus membunuhmu.”

Sumangkar menggeleng lemah sambil menyahut, “Kita akan pergi bersama-sama ke Jati Anom.”

Kedua orang itu sudah tidak sabar lagi menghadapi sikap Sumangkar yang menjengkelkan itu. Sehingga karena itu, maka salah seorang dari mereka langsung mengayunkan cemeti kudanya dan menghantam punggung Ki Sumangkar.

Tetapi orang itu terkejut. Betapa cepat ayunan cemetinya, namun Sumangkar berhasil mengelakkan dirinya, membungkuk mendatar di punggung kudanya. Bahkan dengan serta merta ia menggerakkan kendali kudanya dan mengatur diri menghadap kepada kedua orang itu.

“Hem,” orang yang mengayunkan cemetinya itu menggeram, “kau benar-benar bekas seorang penjahat. Tetapi perbuatanmu ini benar-benar perbuatan gila. Jangan kau sangka bahwa seorang penjahat yang ulung-pun akan mampu menahan kami. Apalagi penjahat yang masih mempergunakan nama-nama gila untuk menakut-nakuti orang. Karena penjahat yang demikian tentu justru penjahat-penjahat yang sering mencuri ternak di kandang. Untuk membesarkan namanya, ia mempergunakan sebutan-sebutan yang aneh, seperti yang kau pergunakan. Banaspati.”

“Mungkin Ki Sanak. Tetapi kali ini aku benar-benar ingin berjasa terhadap kampung halaman dan kepada prajurit Pajang di Jati Anom. Karena itu aku sudah bertekad untuk mengantarkan kalian ke Jati Anom, atau menangkap kalian berdua.”

Sumangkar tidak sempat menyelesaikan kata-katanya. Salah seorang dari kedua orang yang marah itu langsung menyerangnya diatas punggung kuda.

Tetapi Ki Sumangkar pun sudah bersedia menghadapinya.

Ketika kuda salah seorang dari keduanya menghampirinya, dan sebuah serangan langsung mengarah ke pelipisnya, Sumangkar sempat mengelak dan kudanyapun bergerak kesamping.

Serangan yang gagal itu membuat orang itu semakin marah. Sesaat kemudian kudanya pun berputar dijalan menyilang lorong yang dilaluinya. Sementara kuda yang lain mulai bergerak dan siap untuk menyerangnya pula.

Perkelahian diatas punggung kuda dijalan yang tidak begitu lebar memang tidak menguntungkan. Itulah sebabnya, maka Sumangkar berniat memaksa lawannya untuk turun dari kudanya.

Itulah sebabnya, maka ketika serangan berikutnya datang, maka Sumangkar telah memperhitungkannya baik-baik. Dengan cepat ia berputar dan diluar dugaan lawannya, ia tidak mengelakkan serangannya, tetapi justru membenturnya dan sekaligus menangkap tangan lawannya.

Sebuah hentakan yang kuat telah menarik lawan Sumangkar itu dari kudanya. Tetapi ternyata orang itu telah berpegangan pada tangan Sumangkar pula, sehingga keduanya pun telah terloncat dari punggung kudanya dan jatuh berguling di tanah.

Tetapi ternyata bahwa keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Karena itulah, maka keduanya mampu menempatkan dirinya, sehingga keduanya tidak cidera karenanya. Bahkan dalam sekejap kemudian, keduanya telah meloncat berdiri dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, seorang lawan Sumangkar yang masih berada di punggung kudanya pun merasa tidak banyak gunanya ia bertahan terus untuk bertempur diatas kudanya. Itulah sebabnya, maka ia pun segera meloncat turun dan siap menghadapi Ki Sumangkar berpasangan.

“Ternyata kau memang sedikit mempunyai kemampuan pengawal tua,” salah seorang dari keduanya menggeram, “tetapi bahwa kau sudah merasa dirimu melampaui kemampuan Untara dan berusaha menangkap kami berdua, adalah angan-angan yang gila dan tidak tahu diri. Betapapun tingginya ilmu pengawal Kademangan kecil seperti Macanan, ia tidak akan mampu menahan kami. Apalagi berdua.”

Ki Sumangkar mengerutkan keningnya, ia memang harus berhati-hati. Keduanya memang bukan orang-orang kebanyakan. Sehingga karena itulah maka sambil memperhatikan keduanya ia menjawab, “Aku sama sekali tidak merasa diriku melampaui kemampuan Ki Untara. Tetapi aku hanya berkeinginan untuk membawa kalian menghadap Ki Untara.”

“Persetan,” geram yang seorang, sementara yang lain maju selangkah, “bunuh saja orang ini. Kita tidak banyak mempunyai waktu.”

Serangan berikutnyapun segera datang beruntun. Sumangkar berusaha untuk mengelakkan serangan-serangan itu. Dengan cepatnya ia meloncat menghindar dan bahkan ia pun berusaha menyerang dengan garangnya.

Agaknya kedua orang lawannya yang marah itu tidak mempunyai waktu terlalu banyak untuk bermain-main dengan pengawal Kademangan tua itu, sehingga sejenak kemudian keduanyapun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan Sumangkar yang telah dengan sombong menghentikan mereka.

Demikianlah maka mereka pun segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Masing-masing lelah berusaha untuk segera memenangkan pertempuran itu.

Tetapi ternyata kemudian, bahwa kedua orang yang dihentikan oleh Sumangkar itu mampu bertempur berpasangan dengan baiknya, sehingga pada suatu saat, Sumangkar pun mulai nampak kebingungan menghadapi kedua lawannya.

Namun demikian, ia masih tetap bertempur mati-matian. Ia masih sempat selalu meloloskan diri dari serangan yang langsung membahayakan jiwanya. Namun demikian, semakin lama nafasnya menjadi semakin berdesakan dilubang hidungnya.

“Orang tua yang gila,” geram salah seorang dari keduanya, “kami bukan orang-orang yang baik hati dan memaafkan segala kesalahanmu. Kau sudah menghentikan langkah kami. Karena itu, kau harus menyesalinya meskipun tidak perlu terlalu lama, karena sebentar lagi kau akan kami bunuh tanpa ampun.”

Sumangkar tidak menjawab. Ia berusaha untuk bertahan terus. Meskipun ia masih dapat mengelakkan setiap serangan, tetapi semakin lama ia menjadi semakin terdesak.

Dengan segenap sisa tenaganya, Sumangkar masih tetap bertahan melingkar-lingkar. Ia tidak mau beranjak jauh dari tempatnya. Meskipun kadang-kadang ia harus meloncat jauh surut, tetapi ia sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri. Apalagi ketika lawannya berkata lantang, “Tidak ada gunanya kau melarikan diri. Kami yang sudah terlanjur turun dari kuda, akan meninggalkan mayat kalian disini.”

Sumangkar tidak menjawab. Ia mencoba sekilas memandang berkeliling.

“Kau mencari kawan yang sedang berada di sawah atau orang lalu? Jalan ini terlalu sepi. Mungkin akan ada dua atau tiga orang prajurit yang lewat. Tetapi dua tiga orang prajurit itu pun akan kami bunuh pula jika mereka ikut serta melibatkan diri. Bahkan seandainya yang datang Untara sekalipun, kami tidak akan gentar.”

“Jangan terlalu sombong,” geram Sumangkar. Tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Serangan kedua lawannya benar-benar telah mendesaknya.

“Nah Ki Sanak,” berkata salah seorang dari ke duanya, “mulailah dengan penyesalanmu.”

“Tidak. Aku tidak menyesal,” jawab Sumangkar, “aku akan menangkap kalian. Sekarang semakin kuat dugaanku, bahwa kalian berdua adalah penjahat yang selama ini sering mengganggu dan merampok Kademangan-ku.”

“Gila.”

“Aku akan berteriak. Orang-orang yang ada disawah itu akan berdatangan. Mereka akan membantu aku dan jumlah mereka akan cukup banyak.”

“Itu adalah suatu tindakan yang bodoh. Itu berarti bahwa kau telah membunuh kawan-kawanmu sendiri, karena aku benar-benar akan membunuh siapa saja yang terlibat dalam perkelahian ini.”

Ki Sumangkar termangu-mangu sejenak. Tetapi serangan kedua orang lawannya datang seperti badai dari arah yang berbeda. Karena itulah maka ia harus berputaran seperti angin pusaran.

“Jangan gembira karena kemenangan-kemenangan kecil,” desis Sumangkar, “karena sebentar lagi orang-orang Kademangan ini akan menangkap kalian berdua.”

“Daerah ini terlampau sepi. Orang-orang yang ada disawah justru telah berlarian dan bersembunyi. Apa yang akan kau katakan?”

Ki Sumangkar tidak sempat menjawab. Serangan keduanya benar-benar hampir menyentuh kulitnya.

Karena itulah maka Ki Sumangkar harus berloncatan menghindarinya. Sekali-sekali ia sempat menyerang. Namun sebagian besar dari tata geraknya adalah sekedar berusaha menghindari serangan lawan.

Tetapi Ki Sumangkar tidak selalu berhasil. Serangan kedua orang lawannya semakin lama menjadi semakin cepat. Betapapun juga Sumangkar berusaha untuk menghindar, namun pada suatu saat, ia telah tersentuh oleh tangan lawannya.

Terdengar Sumangkar menyeringai. Sentuhan itu ternyata telah membuatnya semakin terdesak.

“Kau akan mati,” geram salah seorang dari kedua lawannya.

Tetapi Sumangkar masih melawan terus. Ia tidak mau meninggalkan arena. Apapun yang akan terjadi, ia akan bertempur terus.

“Kau kira aku seorang pengecut,” ia menggeram, “akupun pernah menjadi seorang yang pada suatu saat berhasil menyombongkan diri karena kemenangan-kemenangan kecil.”

Sumangkar tidak sempat meneruskan kata-katanya. Sebuah serangan yang cepat dan keras telah mengenai pundaknya, sehingga ia terputar dan terbanting ditanah.

Sekali ia terguling, kemudian dengan serta merta ia meloncat berdiri.

Pada saat yang bersamaan, sebuah serangan kaki mendatar telah mengejarnya. Untunglah, bahwa justru keseimbangannya belum pulih kembali sehingga ia terjatuh tepat pada saat kaki lawannya hampir saja mengenai tengkuknya.

Lawannya yang tidak berhasil mengenainya itu menggeram marah. Ia masih ingin menyerangnya sekali lagi. Tetapi agaknya Sumangkar justru sudah berhasil berdiri dan meloncat jauh-jauh ke belakang.

“Kau akan lari,” bentak salah seorang dari kedua lawannya.

Sumangkar tidak menyahut. Tetapi sorot matanya semakin lama seakan akan menjadi semakin redup.

“Jangan menyesal,” geram lawannya. Sumangkar masih tetap berdiam diri. Tetapi ia selalu bersiaga menghadapi kedua lawannya yang memiliki ilmu yang tinggi itu.

Tetapi ternyata bahwa Sumangkar benar-benar telah terjepit. Kedua orang lawannya berhasil mendesaknya kebawah sebatang pohon Randu Alas yang tumbuh dipinggir jalan itu.

“Kau tidak akan dapat lari meninggalkan kami. Sekarang, katakanlah, apa yang kau kehendaki untuk yang terakhir kalinya.”

“Kenapa yang terakhir?”

“Kau akan mati,” geram orang itu.

Sumangkar menjadi tegang sejenak. Tetapi ia tidak dapat menyangkal. Serangan kedua orang itu semakin lama menjadi semakin garang. Dan bahkan seakan-akan telah mengurungnya dalam keadaan yang paling gawat.

Dalam saat-saat terakhir dari perkelahian itu Sumangkar terdesak tanpa dapat menahan arus serangan lawannya, sehingga pada suatu saat, ia berdiri ditanggul parit dengan ragu-ragu. Sementara dari dua arah yang berbeda, kedua lawannya mendekat dengan senjata yang sudah teracu.

“Saat kematian itu memang sudah mendekat,” desis yang lain.

Ki Sumangkar memandang kedua ujung senjata itu. Berganti-ganti. Dalam keadaan yang sulit ia menjawab, “Jika keadaan yang paling pahit itu harus aku jalani, apa boleh buat. Tetapi pada saat terakhir aku sudah melihat, siapakah orang selama ini mengganggu Kademanganku. Mencuri ternak atau sekali-sekali mencuri harta milik dengan merusak dinding.”

“Gila,” geram yang satu, “kau masih saja gila.”

“Kejahatan yang demikian tentu akan sampai pada batasnya. Jika prajurit Pajang menemukan kalian sedang mencuri kuda, bahkan mencuri ayam, maka kalian akan menyadari bahwa pasukan Pajang bukan terdiri dari pengawal-pengawal seperti aku.”

“Tetapi anggapanmu bahwa kami adalah pencuri-pencuri itu adalah anggapan yang gila sekali. Apakah tampangku seperti pencuri ayam?”

“Aku tidak dapat membedakan tampang seseorang. Tetapi tingkah lakumu mengatakan kepadaku, bahwa kalian berdua adalah pencuri-pencuri yang selama ini sedang kami cari.”

“Aku bukan pencuri. Jika kau sekali menyebut aku pencuri aku akan menyobek mulutmu.”

Sumangkar termangu-mangu. Lalu dengan nada datar ia bertanya, “Jika kalian bukan pencuri ternak dan kuda, kenapa kalian takut aku hadapkan kepada Untara? Ia tidak pernah menghukum orang yang tidak bersalah.”

“Aku bukan pencuri ayam. Jika ada sesuatu yang aku lakukan, maka semuanya itu aku lakukan karena cita-cita?”

Sumangkar tidak menyahut. Ketika tiba-tiba saja ia meloncat surut, melewati tanggul dan parit, salah seorang dari kedua itu telah meloncat memotong arah sambil berkata, “Kau tidak akan dapat lari kemana-mana Kau akan mati.”

Wajah Sumangkar menjadi tegang dan gemetar. Namun ia masih berdesis, “Penjahat yang keji. Bertaubatlah. Kemudian tebuslah dosa-dosamu dengan berbuat kebajikan.”

“Aku bukan penjahat,” salah seorang dari keduanya berteriak, “orang tua gila,” ia menggeram, “diambang pintu maut, dengarlah kata-kataku. Sebenarnyalah aku bukan penjahat seperti yang kau maksud.”

“Jadi. jadi, siapakah kau?” Sumangkar melangkah surut dan turun di tanah persawahan.

Ke dua orang itu mendesak semakin ketat dari dua arah, sehingga Sumangkar menjadi semakin sulit terdesak. Bahkan rasa-rasanya kedua ujung senjata orang-orang marah itu tidak terkekang lagi memburunya.

“Kami jarang sekali mempergunakan senjata kami,” berkata salah seorang dari keduanya, “tetapi karena aku sekarang sedang berhadapan dengan pengawal gila, maka aku telah mempergunakan senjataku. Tetapi jika senjata ini sudah tertarik dari sarungnya, maka senjata ini tentu akan menghisap darah korbannya.”

Sumangkar tidak menyahut. Sekilas ia melihat kedua ujung senjata yang tajamnya melampaui tajam duri kemarung.

Yang dapat dilakukan Sumangkar kemudian hanyalah sekedar meloncat surut. Semakin lama semakin cepat. Namun diluar penguasaan keseimbangan tubuhnya, kakinya telah menyentuh pematang, sehingga Sumangkar itu pun jatuh terlentang di antara tanaman yang hijau segar.

“Ajalmu telah sampai,” geram salah seorang lawannya.

“Tetapi, kau belum menjawab. Siapakah kalian sebenarnya?”

“Tidak ada gunanya. Kami sudah terlanjur marah dan harus membunuhmu.”

“Sebut nama kalian sebelum aku mati.”

Sejenak keduanya ragu-ragu. Namun salah seorang kemudian berkata, “Namaku tidak ada artinya. Tetapi ketahuilah. Kami bukan penjahat kecil seperti yang kau sebut-sebut. Sebutan itu memang suatu penghinaan yang tidak termaafkan. Aku adalah orang-orang yang sedang mengemban tugas dari para pemimpin yang akan mewarisi kerajaan Agung Majapahit.”

“Majapahit,” Sumangkar menjadi heran.

“Kami adalah orang-orang yang sedang mengemban tugas dalam cita-cita, bukan sehina seperti yang kau sangka.”

“Tetapi. Tetapi Majapahit itu sudah tidak ada lagi sekarang ini. Bahkan sudah diganti oleh kerajaan Demak beberapa keturunan, sehingga akhirnya Kerajaan kini berpusat di Pajang.”

“Apa arti Jaka Tingkir anak padesan itu? Ia sama sekali tidak wenang mewarisi kejayaan Wilwatikta. Ia harus terusir dari tahta dan menyerahkan warisan kejayaan Majapahit yang dirampasnya kepada para pemimpin yang berhak.”

“Siapakah yang kau maksud para pemimpin yang berhak itu?”

“Kau tidak perlu tahu tikus kecil. Kau harus mati.”

“O,” Sumangkar mengangguk-angguk, “jadi kalian adalah para petugas dari Kerajaan Agung Majapahit itu?”

“Ya. Kerajaan Agung Majapahit akan segera lahir.”

“Di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu?”

Kedua orang itu tiba-tiba menjadi tegang. Salah seorang dari keduanya menggeram bertanya, “Dari manakah kau mendengar bahwa ada sesuatu peristiwa penting di lembah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu?”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mencoba berdiri. Tetapi salah seorang dari kedua lawannya membentak. “Jangan bergerak. Itu hanya akan mempercepat kematianmu.”

“Biarlah aku berdiri. Jika ujung senjatamu benar-benar akan menghunjam dijantungku, biarlah aku mendengar keteranganmu lebih banyak lagi.”

“Tidak ada yang akan aku terangkan.”

“Tentang lembah itu,” Sumangkar masih berusaha untuk berdiri.

“Berdirilah. Kau akan mati sambil berdiri dan jatuh menelentang lagi dengan darah mengalir dari jantungmu yang akan aku sobek dengan senjataku. Bersiaplah. Jika kau benar-benar jantan, berdirilah dengan dada tengadah supaya aku tidak salah memilih arah jantungmu.”

“Baiklah. Aku memang tidak ada pilihan lain. Tetapi sebutlah namamu berdua.”

“Orang matipun tidak perlu mendengar namaku. Berdirilah tegap seperti seorang laki-laki sejati. Dosamu sudah terlalu banyak. Kau sudah menghina utusan Kerajaan Agung Majapahit sebagai penjahat-penjahat kecil. Dan kau sudah mendengar serba sedikit tentang pertemuan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.”

“Aku memang sudah mendengar. Di lembah itu akan dibicarakan pula mengenai kedua pusaka yang hilang dari Mataram. Songsong kebesaran dan yang tak ternilai adalah pusaka terbesar Kangjeng Kiai Pleret.”

“He, darimana kau tahu? “ salah seorang dari keduanya berteriak

Sementara yang lain menggeram, “Cepat. Bunuh-orang ini. Ia sangat berbahaya. Kecuali jika kau dapat menyebut, bahwa kau adalah petugas di antara kami.”

Tetapi Sumangkar menggeleng, “Aku bukan petugas sandi di antara kalian. Aku benar-benar seorang bekas penjahat yang kini menjadi pengawal sebuah Kademangan kecil disini. Dan aku benar ingin menangkapmu jika aku mampu dan membawamu menghadap Senepati Untara.”

“Gila. Kau membenarkan keputusan kami untuk membunuhmu.”

“Baiklah. Tetapi dengarlah penjelasanku tentang diriku,” Sumangkar melanjutkan.

“Apakah itu penting?” geram lawannya yang lain.

“Sebelum kau membunuh aku, kau tahu pasti, siapah aku ini.”

“Katakan. Cepat kalau itu memberikan sedikit ketenangan disaat matimu.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berdiri tegak. Dari dua arah ia melihat ujung senjata yang siap menghujam ketubuhnya. Ketika sekilas ia memandang wajah orang-orang yang menggenggam senjata itu, dilihatnya wajah itu seolah-olah menjadi merah membara.

“Dengarlah,” berkata Sumangkar sambil melangkah surut. Tetapi kedua orang itu melangkah mendekat pula tanpa menghiraukan tanaman yang terinjak-injak kaki.

“Aku adalah seorang penjahat yang paling dibenci oleh orang-orang Pajang. Itulah sebabnya aku berusaha membuat suatu jasa bagi mereka, khususnya prajurit Pajang di daerah ini.”

“Cepat sebut, siapa kau.”

“Aku adalah penjahat besar dari Jipang. Aku adalah adik seperguruan Patih Mantahun. guru seorang Senepati Jipang yang masih muda, Tohpati yang terbunuh di daerah ini pula.”

“Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan pada jaman itu?”

“Ya. Namaku sudah aku sebut. Sumangkar.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Sebutan yang diucapkan oleh Sumangkar tentang dirinya sendiri sebagai saudara seperguruan Tohpati membuat orang itu berdebar-debar.

Namun kemudian salah seorang dari keduanya berkata lantang, “Jangan mengigau orang tua. Jika kau pernah menjadi seorang penjahat kecil, aku memang percaya. Tetapi jika kau mengaku saudara seperguruan dari Patih Mantahun, agaknya syarafmu mulai terganggu di saat kau menghadapi maut.”

Sumangkar memandang orang itu sejenak. Namun ia tersenyum. Katanya, “Mungkin syarafku sudah terganggu. Tetapi aku adalah Sumangkar, adik seperguruan Patih Mantahun.”

“Aku tidak peduli. Sekarang, bersiaplah untuk mati. Kau tidak akan dapat memperpanjang nyawamu dengan ceritera-eeritera mimpi seperti itu.”

Tetapi Sumangkar masih saja tersenyum. Katanya, “Aku sudah mengetahui tugasmu. Kau tentu dua orang di antara orang-orang yang mengaku dirinya memiliki hak untuk mewarisi Kerajaan Majapahit yang sudah tidak ada lagi itu.”

“Ya. Aku tidak ingkar. Sekarang matilah dengan tenang.”

“Aku masih belum ingin mati. Aku akan melanjutkan perlawananku. Aku juga mempunyai senjata yang akan dapat membantuku melepaskan diri dari ujung senjatamu.”

“Gila,” geram yang seorang. Sementara yang lain tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menusuk lambung Sumangkar dengan senjatanya.

Tetapi keduanya terkejut melihat perubahan sikap Sumangkar. Dengan tangkasnya ia berhasil menghindar dengan loncatan panjang. Namun lawannya yang lain tidak memberinya kesempatan. Dengan garangnya yang seorang itu pun menyerang pula.

Tetapi Sumangkar telah benar-benar berubah. Ia tidak lagi seorang tua yang ketakutan menghadapi maut. Namun wajahnya yang kemudian menjadi tegang, menunjukkan sikap yang sebenarnya dari adik seperguruan Patih Mantahun itu.

“Maaf Ki Sanak,” berkata Sumangkar kemudian dengan nada datar sambil menghindarkan diri dari serangan lawannya, “aku hanya ingin mendengar pengakuanmu. Menghadapi orang yang akan mati, biasanya seseorang tidak menyembunyikan sesuatu lagi. Dan aku sudah mencobanya meskipun aku tahu bahwa aku sedang bermain-main dengan maut, karena aku akan dapat benar-benar mati.”

“Persetan. Kau memang akan mati,” teriak salah seorang dari kedua orang itu.

“Aku akan mencoba bertahan. Mudah-mudahan aku berhasil.”

Kedua lawannya tidak menunggu lebih lama lagi. Kemarahan yang memuncak telah mendorong mereka untuk menyerang lebih dahsyat lagi.

Namun Sumangkar bukan lagi seorang pengawal tua yang menghadapi maut. Tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam senjatanya. Sebuah trisula berantai ditangan kanan dan pasangan trisula ditangan kiri, yang langsung digenggam pada tangkainya yang pendek.

Senjata Sumangkar memang menarik perhatian kedua lawannya. Trisula kecil itu memberikan kesan tersendiri.

Namun, meskipun trisula itu telah menggetarkan jantungnya, tetapi ada sesuatu yang membuat mereka berpengharapan. Ternyata senjata orang yang menyebut adik seperguruan Patih Mantahun itu tidak mempergunakan senjata yang mengerikan, ciri perguruannya.

“Kau berbohong,” geram yang seorang dari kedua lawan Sumangkar, “kau mencoba menakut-nakuti kami dengan menyebut dirimu adik seperguruan Patih Mantahun. Tetapi kau tidak menunjukkan ciri perguruanmu. Tohpati mempunyai tongkat baja dengan bentuk tengkorak berwarna kuning pada tangkainya.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kau mengenal ciri itu?”

“Setiap orang Pajang mengenalnya.”

“Dan kau bagian dari Prajurit Pajang itu. Aku tahu pasti. Kau sudah mengkhianati tugasmu dan bergabung dengan orang-orang yang merasa dirinya mewarisi Kerajaan Agung Majapahit. Itulah sebabnya aku akan menangkapmu,” Sumangkar berhenti berbicara karena serangan lawannya yang mendesak. Namun kemudian ia meneruskan, “Sedangkan tentang ciri perguruanku itu, karena sangat terbatas jumlahnya, tidak setiap orang memilikinya. Aku sudah menyerahkan senjata itu kepada muridku.”

Kedua orang itu benar-benar menjadi gelisah. Serangan-serangan mereka sama sekali tidak memberikan tekanan lagi kepada Sumangkar.

Dengan demikian mereka pun menyadari sepenuhnya, bahwa kekalahan Sumangkar adalah sekedar sebuah pancingan agar mereka mengaku, siapakah mereka sebenarnya.

Kemarahan yang menghentak dada seakan-akan tidak tertahankan lagi. Sehingga dengan demikian, maka keduanya telah bertempur semakin cepat dan keras.

Tetapi desing trisula Sumangkar yang diikatnya dengan rantai ditangan kanannya seakan-akan telah berubah menjadi sebuah perisai rapat. Putaran trisula itu sama sekali tidak dapat ditembusnya dengan ujung senjata. Bahkan kadang-kadang mereka harus menghindar dengan loncatan panjang, jika trisula Sumangkar itu tiba-tiba saja mematuknya.

Perkelahian itu pun menjadi semakin sengit. Bahkan mereka tidak lagi menahan diri, apalagi mempertimbangkan bahwa mereka harus menghindarkan diri dari pertumpahan darah dalam arti yang sebenarnya, karena perkelahian itu sudah dihembus oleh nafas maut.

Kedua orang yang merasa terjebak oleh sikap Sumangkar itu benar-benar berusaha untuk membunuhnya dengan cara apapun juga. Sebaliknya Sumangkar yang mengetahui tugas keduanya, berusaha untuk benar-benar dapat menangkap meskipun hanya seorang saja dari keduanya.

Tetapi Sumangkar pun kemudian telah didesak untuk berkelahi mati-matian karena kedua lawannya benar-benar bukan lawan yang dapat diabaikan. Ke duanya memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Apalagi setelah keduanya mengerti, bahwa lawannya bukannya orang kebanyakan. Bukan seorang bekas penjahat kecil yang menjadi pengawal sebuah Kademangau kecil seperti yang dikatakan semula. Tetapi lawannya adalah saudara seperguruan Patih Mantahun.

Karena itulah maka pertempuran di antara mereka-pun menjadi semakin seru. Masing-masing berusaha untuk melumpuhkan lawannya dengan cara yang dapat dilakukan.

Sementara itu, Sumangkar yang harus bertempur mati-matian, harus mempertimbangkan segala kemungkinan. Ia tidak dapat membiarkan dirinya selalu dibayangi oleh kesulitan hanya karena berusaha untuk mengalahkan lawannya dan dapat menangkap mereka hidup-hidup.

“Jika terpaksa aku mengorbankan salah seorang dari keduanya, apaboleh buat. Tetapi yang seorang harus dapat ditangkap hidup-hidup untuk dapat didengar keterangannya,” berkata Ki Sumangkar didalam hati.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Sumangkar tidak ingin membawanya kepada Untara. Jika ia berhasil menangkap seorang atau keduanya, maka ia akan membawanya kepadepokan Agung Sedayu.

Dalam pada itu, selagi pertempuran menjadi semakin sengit, maka dikejauhan orang-orang yang sedang berada disawah dicengkam oleh kecemasan. Mereka tidak tahu sebabnya dan tidak mengenal pula kedua belah pihak. Namun perkelahian itu benar benar telah mendebarkan jantung mereka.

Meskipun mereka tidak berani mendekat, tetapi dari kejauhan beberapa orang laki-laki mengawasi pertempuran yang sengit itu. Para pengawal padukuhan terdekat telah berkumpul dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

“Kita akan mendekat,” berkata salah seorang pengawal.

Tetapi pemimpinnya masih mencegahnya. Katanya, “Tunggu. Kita harus dapat melihat kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas dari peristiwa ini. Menurut penglihatanku, mereka yang sedang bertempur itu adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Jika kita melibatkan diri, maka aku kira kita tidak akan dapat menyesuaikan diri.”

Yang lain mengangguk-angguk. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Jika perkelahian itu membuat salah satu pihak menjadi mata gelap dan tanpa sebab mengganggu padukuhan kita ?”

“Kita akan mencegahnya. Jumlah kita cukup banyak meskipun mungkin tidak seorang pun dari antara kita yang memiliki kemampuan yang memadai tetapi bersama-sama kita setidak-tidaknya akan dapat, menahannya.”

Para pengawal itu masih tetap termangu-mangu. Tetapi ditangan mereka telah tergenggam senjata.

“Kita hanya akan mempertahankan dan mengamankan padukuhan kita. Kita tidak dapat ikut mencampuri persoalan mereka, karena mereka bukannya orang-orang kebanyakan,” berkata pemimpinnya, “meskipun ada kewajiban kita memisah setiap perselisihan, ada atau tidak ada sangkut pautnya dengan pedukuhan kita. tetapi perselisihan yang kita hadapi sekarang adalah perselisihan antara orang-orang berilmu yang kebetulan saja terjadi didaerah ini.”

Sejenak para pengawal itu termangu-mangu. Pertempuran ditengah bulak itu berlangsung semakin sengit.

“Kita minta bantuan ke Sangkal Putung,” tiba-tiba salah seorang berdesis, “mungkin para pengawal Sangkal Putung, khususnya Swandaru dapat melerai atau bahkan menangkap mereka.”

“Apakah kita sempat melakukannya ?”

Para pengawal itu masih saja termangu-mangu. Meskipun Sangkal Putung tidak terlalu jauh, namun perjalanan ke Sangkal Putung memerlukan waktu.

Akhirnya pemimpin pengawal itu berkata, “Kita akan mengamati saja apa yang terjadi, agar padukuhan kita tidak mereka libatkan dalam perselisihan yang tidak kita ketahui ujung pangkalnya.

Kawan-kawannya mengangguk. Orang-orang laki-laki yang melihat perkelahian itu dari kejauhan menjadi bertambah banyak. Tetapi mereka pun tidak berani berbuat apa-apa.

Sumangkar yang harus melawan dua orang yang agaknya termasuk tataran yang tinggi dikalangan orang-orang yang mengaku pewaris kerajaan Agung Majapahit itu harus memeras keringatnya. Perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit itu akhirnya memang harus diakhiri tanpa mempertimbangkan kematian.

Trisula Sumangkar yang berputar itu sekali-sekali mematuk lawannya. Demikian cepatnya, seolah-olah Sumangkar tidak hanya memegang sepasang trisula. Setiap kali kedua lawannya itu terkejut, jika trisula yang hanya sepasang itu telah menyerang keduanya dalam waktu yang bersamaan. Bahkan kadang-kadang trisula yang terikat diujung rantai itu nampaknya tidak dapat diperhitungkan, karena arah patukannya. Sehingga semakin sengit mereka bertempur, trisula itu menjadi semakin membingungkan. Seolah-olah telah berubah menjadi berpasang-pasang trisula yang tidak terhitung jumlahnya.

Namun itu, bertempur semakin dahsyat. Kadang-kadang ia pun menjadi lupa, bahwa ia memerlukan salah seorang dari kedua lawannya. Jika ia terdesak oleh kedua pucuk senjata lawannya itu, maka ia pun menjadi bertambah garang dan menyerang tanpa terkendali.

Keringat yang membasahi seluruh tubuhnya seolah-olah membuatnya semakin garang. Ketika dua serangan datang dengan tiba-tiba, maka Sumangkar menggeram sambil meloncat menghindar. Namun ia tidak mau diburu oleh serangan demi serangan Karena itulah, maka loncatan berikutnya, justru ia mulai menyerang. Dengan tangkasnya ia berusaha menemukan arah serangan yang mapan. Dengan cepat ia mengambil arah diluar garis serangan keduanya, sehingga ia berhasil berdiri di satu sisi.

Yang terjadi berikutnya, adalah serangannya yang tiba-tiba. Trisulanya menyambar lambung dengan gerak mendatar. Lawannya yang berdiri di hadapannya masih berhasil meloncat surut, sehingga ia terlepas dari sambaran trisula Sumangkar.

Tetapi Sumangkar memang sudah memperhitungkan. Bukan orang yang pertama itulah yang menjadi sasaran serangannya. Demikian orang itu meloncat, muka trisula Sumangkar pun berputar menurut arah putaran yang lain. Trisula itu berputar dalam bidang yang tegak. Tetapi hanya sesaat, karena sesaat kemudian trisula itu bagaikan meluncur mematuk lawannya dengan dahsyatnya. Bukan lawan yang berdiri terdekat, tetapi justru lawan yang berdiri pada jarak yang lebih jauh, sehingga karena itulah maka serangannya itu kurang diperhitungkan oleh sepasang lawannya.

Serangan yang dilakukan oleh Sumangkar diluar perhitungan lawan-lawannya itu benar-benar telah merusak pertahanan mereka. Ketika trisula itu meluncur, kemudian mematuk lawannya yang justru berdiri di tempat yang lebih jauh, lawannya yang lain bagaikan terpukau oleh desah tertahan kawannya. Dengan mata terbelalak ia melihat darah yang memancar dari luka di pundak.

Tetapi darah itu bagaikan menyadarkannya dari mimpi. Itulah sebabnya, maka lawannya yang berdiri terdekat itu dengan serta merta telah meloncat menyerang Sumangkar.

Sumangkar masih sempat menarik trisulanya, ia mencoba untuk berkisar. Namun ternyata bahwa lawannya-pun mampu bergerak cepat, sehingga senjatanya masih berhasil menyentuh tubuh Sumangkar.

Sumangkar pun berdesis ketika ia menyadari bahwa lengannya telah tergores oleh ujung senjata lawannya. Namun goresan itu sama sekali tidak mempengaruhinya meskipun terasa juga perasaan pedih yang menyengat.

Ketika Sumangkar mengambil jarak, ia melihat lawannya yang dapat dilukainya itu terduduk lesu. Agaknya luka dipundaknya cukup dalam dan melumpuhkan sebelah tangannya.

Tetapi Sumangkar tidak dapat termangu-mangu lebih lama lagi. Ia pun kemudian mulai dengan perjuangannya untuk mengalahkan yang seorang lagi.

Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa orang yang terluka itu pun kemudian masih mencoba berdiri dengan senjata ditangan kirinya. Agaknya ia tidak mau menyerah meskipun pundaknya telah terluka parah. Darah masih saja mengalir dari lukanya, apalagi jika ia pun kemudian masih akan mencoba ikut dalam pertempuran.

Lawannya yang seorang ternyata masih sanggup bertempur dengan sengitnya. Apalagi setelah kawannya terluka dipundak. Ia merasa bahwa tanggung jawab perlawanannya terletak pada dirinya.

Dengan ragu-ragu orang yang terluka itu masih juga mendekati arena. Bahkan ternyata kemudian, bahwa ia masih sanggup membantu kawannya dengan sebelah tangannya.

Pertempuran yang sengit itu pun masih berlangsung. Sumangkar yang sudah tergores oleh luka itu pun bertempur dengan segenap kemampuannya, karena ia pun merasa perlu untuk segera mengakhiri perkelahian, sebelum darahnya sendiri terlalu banyak mengalir dari luka yang hanya segores itu.

Dalam pada itu, orang-orang padukuhan dan para pengawal yang menyaksikan pertempuran itu telah dicengkam oleh ketegangan. Mereka mulai melihat darah yang mengalir dari luka. Dengan demikian maka mereka menyadari bawa perkelahian itu benar merupakan perkelahian yang mempertaruhkan nyawa.

Sumangkar pun menyadari, bahwa ia harus bertempur dengan segala kemampuan. Jika ia lengah sedikit saja, maka nyawanyalah yang akan direnggut oleh kedua lawannya. Dengan demikian maka ia tidak akan berhasil mendapat keterangan apapun tentang orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Agung Majapahit itu.

Ketika pertempuran itu berlangsung sesaat lagi, orang yang terluka dipundaknya itu sama sekali sudah tidak berdaya lagi untuk ikut membantu kawannya. Darahnya yang terlalu banyak mengalir membuat tubuhnya menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya ia tidak dapat berbuat apa-apa1 lagi. Setiap geraknya justru ba gaikan memeras lukanya dan darahpun mengalir semakin banyak.

Pada saat-saat yang semakin sulit, lawannya sempat melihat kudanya masih saja berkeliaran sambil merenggut rumput rumput hijau di tanggul parit. Kuda itu sama sekali tidak mengerti, apa yang telah terjadi di sekitarnya. Ia tidak tahu bahwa penunggangnya sedang berkelahi mempertaruhkan hidup dan matinya.

Tekanan Sumangkar yang tidak teratasi membuat lawannya mulai memikirkan cara lain untuk menyelamatkan diri. Tetapi jika terpandang olehnya meskipun sekilas kawannya yang terluka, maka lawannya yang seorang itu menjadi bingung.

Namun dalam pada itu, agaknya orang itu tidak melihat jalan lain yang dapat ditempuhnya, kecuali mempergunakan kudanya.

“Tetapi kawanku tidak akan sempat melarikan diri,” desisnya didalam hati. Apalagi ketika terlihat olehnya kuda-kuda yang lain berada agak jauh dari arena.

Meskipun demikian, maka maut yang sudah membayang itu memang perlu dihindari dengan cara apapun juga. Termasuk cara yang sudah mulai dipikirkan. Lari dari arena pertempuran yang berat itu.

Orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa pertempuran yang demikian tidak akan dapat dilampauinya betapapun ia berusaha, jika masih saja dibitasi pada perlawanan kekerasan.

Karena itulah, maka sejenak kemudian, ia pun berteriak nyaring. Serangannya datang membadai untuk sesaat, sehingga Sumangkar yang terkejut seakan-akan terdesak surut beberapa langkah. Namun yang beberapa kejap itu ternyata telah dipergunakan oleh lawannya untuk meloncat berlari kearah kudanya.

Sumangkar yang melihat lawannya melarikan diri. dengan serta merta mencoba mengejarnya meskipun ia terlambat beberapa langkah. Namun ia bertekad untuk tidak melepaskan lawannya itu.

Dengan sadar pula Sumangkar tinggalkan lawannya yang lain, yang menurut penilaiannya sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Ia mengharap akan dapat menangkap kedua-duanya.

Tetapi langkah lawannya ternyata cukup cepat, sehingga sebelum Sumangkar dapat mencapainya, ia telah lebih dahulu meloncat kepunggung kudanya.

Sumangkar menggeram marah. Ia masih berlari beberapa langkah saat kuda itu mulai bergerak. Tetapi ia terlambat sekejap. Kuda itu sudah meloncat ketika ia sampai ditempat itu.

Namun yang mengherankan, kuda itu tidak berlari terus. Kuda itu meloncat kedalam tanah persawahan mendekati orang yang terluka.

“Gila,” teriak Sumangkar, “apakah ia sempat membawanya?”

Sumangkar tidak membiarkannya terjadi. Karena itu, maka ia pun segera berlari lagi mengejar kuda yang turun kedalam lumpur.

Sumangkar menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat orang yang terluka itu mencoba berdiri. Namun agaknya darah yang terlalu banyak mengalir, membuatnya sangat lemah, sehingga ia pun terduduk kembali diatas tanah berlumpur.

Sambil berlari sekencang-kencangnya Sumangkar mencoba menilai keadaan. Jika orang berkuda itu akan membawa kawannya, ia masih harus meloncat turun. Jika demikian, maka ia akan berkesempatan untuk mengejarnya.

Tetapi jika orang itu sempat berdiri dan mampu meloncat kepunggung kuda, maka Sumangkar mungkin akan ketinggalan, sehingga ia tidak akan dapat mencegah kedua orang itu melarikan diri.

Dengan sekuat-kuatnya Sumangkar berlari terus. Namun yang dilihatnya kemudian telah membuatnya menjadi berdebar-debar. Bahkan rasa-rasanya jantungnya akan pecah oleh kemarahan yang membakar dadanya

Dengan sisa tenaga yang terakhir, ternyata orang yang lerluka itu masih sempat berdiri. Kemudian menghentakkan diri meloncat kepunggung kuda yang berdiri sesaat, ditolong oleh kawannya yang sudah berada dipunggung kuda. Dengan hentakan, maka orang itu berhasil naik kepunggung kuda yang dengan serta merta berlari meninggalkan Sumangkar yang hampir mencapainya.

“Pengecut,” teriak Sumangkar.

Namun keduanya sama sekali tidak menghiraukannya. Semakin lama kuda itu pun menjadi semakin jauh, sehingga akhirnya kuda itulah yang lebih dahulu keluar dari dalam lumpur dan berlari diatas jalan berbatu-batu.

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk mengendapkan kemarahan yang bagaikan akan meledakkan dadanya.

“Gila,” geramnya, “tetapi yang seorang itu agaknya sudah terlalu parah. Lukanya sendiri tidak akan mematikannya. Tetapi darah yang mengalir ternyata terlampau banyak, sehingga sulit baginya untuk bertahan sampai daerah yang mereka anggap aman. Apalagi lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu.

Sejenak Sumangkar termangu-mangu. Ia masih melihat bintik hitam yang semakin lama menjadi semakin samar, dan kemudian lenyap sama sekali.

“Aku gagal mendapatkan salah seorang dari mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit, atau orang-orang yang berdiri dipihaknya.” gumam Sumangkar kepada diri sendiri, “namun demikian aku mengetahui bahwa agaknya kegiatan orang-orang itu menjadi kian meningkat, seperti yang pernah disebut-sebut oleh Raden Sutawijaya.”

Sumangkar pun kemudian menyadari, bahwa dirinya telah dikotori oleh lumpur dan bahkan darah yang mengalir dari lukanya yang tidak begitu terasa meskipun ia kemudian mengambil kesimpulan untuk memamapatkan darah yang meskipun hanya beberapa titik itu.

Namun dalam pada itu, Sumangkar terkejut ketika ia melihat beberapa orang laki-laki telah tersembul dari belakang regol padukuhan yang tidak terlalu jauh. Ia pun kemudian menyadari, bahwa orang-orang itu tentu sudah menyaksikan, bahwa ia telah bertempur melawan dua orang yang sempat melarikan diri.”

Tetapi jantungnya menjadi kian berdebar-debar ketika ia melihat, bahwa orang-orang itu ternyata membawa senjata ditangannya.

“Apakah yang akan mereka lakukan?” pertanyaan itu telah mengganggunya.

Namun hati Sumangkar yang telah menitikkan darah itu menjadi seakan-akan sekeras batu.

“Jika mereka menggangguku, apaboleh buat,” desisnya.

Karena itulah maka Sumangkar menunggu dengan senjatanya ditangan, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Yang terdepan dari orang-orang padukuhan itu adalah pemimpin pengawalnya. Dengan ragu-ragu pemimpin pengawal itu mendekat. Namun heberapa langkah sebelum sampai dihadapan Sumangkar ia berhenti. Orang-orang yang mengikutinyapun berhenti juga termangu-mangu.

“Ki Sanak,” bertanya pemimpin pengawal itu, “apakah sebenarnya yang telah terjadi, sehingga Ki Sanak harus bertempur melawan kedua orang itu?”

Sumangkar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku mencurigai mereka. Aku ingin memaksa mereka menghadap Ki Untara.”

Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Dengan nada yang meninggi ia bertanya, “Ki Untara Panglima pasukan Pajang di Jati Anom.”

“Ya.”

“Tetapi siapakah Ki Sanak?”

“Aku adalah orang yang sering lewat jalan ini. Aku Sumangkar dari Sangkal Putung.”

“Sangkal Putung?“ orang itu mengerutkan keningnya, “apakah Ki Sanak memang orang Sangkal Putung?”

“Ya. Aku orang Sangkal Putung.”

Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Kemudian katanya, “Aku mengenal beberapa orang Sangkal Putung.”

“Siapa?”

“Di antaranya anak Ki Demang.”

“Swandaru maksudmu?” bertanya Ki Sumangkar.

Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk.

“Tentu aku mengenalnya. Swandaru dan adiknya Sekar Mirah. Aku juga mengenal Ki Demang sendiri. Ki Jagabaya, dan para bebahu. Meskipun aku bukan bebahu Kademangan Sangkal Putung, namun aku kadang-kadang mendapat kesempatan untuk berbicara dengan mereka dalam suatu pertemuan.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk angguk. Tetapi Sumangkar dapat menyebut nama putera Ki Demang dan bahkan anak perempuannya, sehingga dengan demikian, para pengawal itu mulai mempercayai bahwa Sumangkar memang orang Sangkal Putung.

“Ki Sanak,” bertanya pemimpin pengawal itu, “sekarang Ki Sanak akan pergi ke mana?”

“Aku akan tetap pergi ke Jati Anom. Ada keperluan yang mendesak selain menghadap Panglima prajurit Pajang di Jati Anom.”

“Dalam pakaian yang kolor bernoda lumpur dan darah?”

Sumangkar mengamat-amati pakaiannya. Pakaiannya memang sangat kotor.

Beberapa saat ia termangu-mangu. Tetapi ia tidak akan kembali ke Sangkal Putung, karena baginya tidak akan ada bedanya. Ke Jati Anom atau ke Sangkal Putung, pakaiannya tentu akan menarik perhatian di sepanjang jalan.

Orang-orang padukuhan yang berada beberapa langkah daripadanya itu agaknya dapat mengerti perasaan Ki Sumangkar. Salah seorang dari mereka berbisik kepada kawannya, “Apakah kita dapat meminjaminya pakaian?”

“Kita belum tahu pasti, apakah benar-benar ia orang Sangkal Putung. Jika ia kemudian ternyata seorang pembohong, maka pakaian itu akan dibawanya lari.” jawab yang lain.

Sementara itu pemimpin pengawal yang berada dipaling depan ternyata bertanya dengan ragu-ragu, “Ki Sanak. Apakah aku dapat mempercayai Ki Sanak sepenuhnya, bahwa Ki Sanak memang orang Sangal Putung.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Terserah kepada kalian. Aku tidak dapat mengatakan lebih banyak lagi tentang diriku.”

“Bagaimana jika ternyata kau bukan orang Sangkal Putung ?”

Sumangkar yang masih dicengkam oleh kekecewaan atas lolosnya dua orang yang dianggapnya dapat menjadi sumber keterangan yang penting tentang orang-orang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu merasa tersinggung. Karena itu jawabnya, “Aku tidak akan memaksa kalian untuk percaya.Kalian boleh tidak percaya. Dan jika kalian tidak percaya, kalian mau apa?”

Pengawal itu cepat-cepat menyahut, “Bukan maksudku Ki Sanak. Kami hanya ingin sekedar meyakinkan. Jika sekiranya Ki Sanak memang orang Sangkal Putung, maka kami dapat berbuat sesuatu agar Ki Sanak tidak menjadi perhatian orang di sepanjang jalan.”

“Apa maksudmu?”

“Kami dapat meminjami pakaian bagi Ki Sanak.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Ternyata orang-orang itu bermaksud baik, sehingga kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Maaf Ki Sanak. Mungkin sikapku terlalu kasar. Tetapi itu agaknya terpengaruh oleh perkelahian yang baru saja terjadi.”

“Kami mengerti.” jawab pengawal itu, lalu. “bagaimana mengenai tawaran kami? Apakah Ki Sanak mau memakai pakaian kami meskipun tidak baik tetapi tidak kotor oleh lumpur dan darah.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia mengamat-amati pakaiannya yang memang sangat kotor. Jika ia melanjutkan perjalanan dengan pakaiannya itu. tentu setiap orang akan memperhatikannya dan bahkan ada yang mencurigainya.

Sejenak kemudian Sumangkar pun menyahut, “Terima kasih Ki Sanak. Jika Ki Sanak percaya kepadaku, aku akan menerima kebaikan hati itu. Nanti, pada saatnya aku akan mengembalikan pakaian itu kemari. Aku adalah Sumangkar dan justru tinggal dirumah Ki Demang Sangkal Putung.”

“Dirumah Ki Demang?”

“Ya. Aku adalah keluarga Ki Demang.”

Orang-orang itu termangu mangu sejenak. Namun nampaknya Sumangkar memang dapat dipercaya, sehingga pemimpin pengawal itu kemudian berkata, “Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, marilah. Singgah dipadukuhan kami. Kami akan dapat meminjamkan sepengadeg pakaian kepada Ki Sanak.”

Sumangkar ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun melihat ketulusan hati orang-orang padukuhan itu, sehingga ia pun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Aku akan menerimanya dengan senang hati.”

Demikianlah Sumangkar pun singgah sejenak di padepokan itu untuk berganti pakaian. Ia tidak dapat meninggalkan pakaiannya yang kotor, karena ia harus mencucinya.

Ketika ia sudah minum hidangan yang diberikan oleh orang-orang padukuhan itu dan makan beberapa potong makanan, maka ia pun segera minta diri.

“Berhati-hatilah. Biasanya jalan ini adalah jalan yang tenang. Tetapi agaknya nasib Ki Sanak kurang baik, sehingga Ki Sanak menjumpai persoalan di sepanjang jalan ini.”

Sumangkar mengangguk. Tetapi ia berkata didalam hatinya, “Akulah yang mencari persoalan. Jika aku tidak menghentikan orang-orang itu, maka tentu tidak akan terjadi sesuatu. Tetapi ternyata bahwa aku gagal menangkap salah seorang, apalagi keduanya.”

Sejenak kemudian maka Sumangkar pun telah meninggalkan padukuhan itu. Beberapa orang pengawal telah berhasil menangkap kudanya, bahkan kuda orang yang melarikan diri sambil membawa kawannya yang terluka.

“Bagaimanakah dengan kuda yang seekor ini?,” bertanya pemimpin pengawal.

“Biarlah kuda itu disini,” jawab Sumangkar.

“Tetapi itu akan dapat menimbulkan bencana bagi kami. Jika kuda pada suatu saat dikenal oleh pemiliknya yang ternyata mempunyai ilmu yang tinggi itu, maka mereka akan mempunyai prasangka buruk terhadap kami. Padahal kami tidak ingin terlibat dalam persoalan Ki Sanak dengan orang-orang itu, yang tidak kami ketahui ujung dan pangkalnya. Apakah justru karena kejahatan, atau karena persoalan lain.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang padukuhan itu memang dapat saja menganggap bahwa kedua orang itu telah menyamunnya. Tetapi juga sebaliknya, bahwa ia berusaha menyamun kedua orang itu.

Tetapi Sumangkar sudah mengatakan, bahwa ia akan-menghadap Panglima prajurit Pajang di Jati Anom. Mudah-mudahan dapat menimbulkan kesan, bahwa bukan ialah yang dianggap sebagai seorang penyamun atau seseorang yang melakukan kejahatan lain. Apalagi ia pun telah mengaku sebagai keluarga Ki Demang di Sangkal Putung.

Dalam keragu-raguan itu pengawal itu berkata, “Bagaimanakah jika Ki Sanak sajalah yang membawa kuda itu dan menyerahkannya kepada prajurit Pajang. Mungkin kuda itu akan bermanfaat.”

Sumangkar termangu-mangu sejenak. Lalu jawabnya, “Baiklah. Aku akan membawanya. Bukan karena nilai kuda itu sendiri. Tetapi semata-mata karena aku tidak ingin melibatkan kalian kedalam persoalan yang memang tidak kalian ketahui. Tetapi yakinlah, bahwa persoalannya memang persoalan yang sangat penting sehingga aku harus mempertaruhan nyawa menghadapi orang-orang itu.”

Orang-orang padukuhan itu hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Ki Sumangkar pun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanannya dengan pakaian yang dipinjam dari orang-orang padukuhan yang menyaksikannya bertempur melawan dua orang yang berdiri dipihak mereka yang merasa mewarisi Kerajaan Agung Majapahit.

Perjalanan Ki Sumangkar kemudian merupakan perjalanan yang tergesa-gesa. Rasa-rasanya ada yang mendorongnya untuk ingin segera sampai dipadepokan kecil didekat Jati Anom. Pengenalannya atas orang-orang yang mencurigakan itu bagaikan mencambuknya untuk segera bertemu dengan Kiai Gringsing.

Ternyata sisa perjalanannya itu tidak ditempuh terlalu lama. Beberapa saat kemudian, ia sudah memasuki Kademangan Jati Anom. Tetapi ia tidak berjalan lurus ke induk Kademangan menghadap Untara seperti yang dikatakannya. Tetapi ia pun kemudian berbelok menuju kepadukuhan kecil yang telah dihuni oleh Kiai Gringsing dan muridnya, yang kemudian bertambah dengan beberapa orang lagi.

Kedatangan Ki Sumangkar di padepokan itu menumbuhkan kegembiraan bagi Agung Sedayu dan penghuni-penghuni yang lain. Seakan-akan mereka mendapat selingan didalam tata kehidupan mereka sehari-hari.

“Marilah Kiai,” Agung Sedayu yang kebetulan ada di halaman segera menyongsongnya.

Ki Sumangkar tersenyum. Diserahkannya kendali kudanya kepada Agung Sedayu yang kemudian mengikatnya pada tonggak yang sudah disediakan oleh Glagah Putih.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang berada dipadepokan pula segera menyambutnya pula dan mempersilahkannya naik kependapa.

Sejenak mereka saling menanyakan keselamatan mereka masing-masing. Kemudian mulailah Ki Sumangkar menanyakan isi padepokan itu.

“Isi padepokan ini sekarang sudah bertambah. Selain kami bertiga, Glagah Putih yang sekarang berada disawah, juga ada beberapa anak-anak muda yang ingin tinggal bersama kami. Anak-anak muda Jati Anom.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus sekali. Dengan demikian kalian tidak perlu menangani semua pekerjaan. Membersihkan rumah dengan segala isinya, halaman, memelihara ternak dan kuda, menggarap sawah dan pategalan.”

“Ya Kiai,” jawab Agung Sedayu, “dengan beberapa orang kawan kami dapat membagi pekerjaan.”

Sumangkar mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Tetapi masih ada yang kurang dipadepokan kecil ini.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Apa yang kurang adi? Semuanya sudah mencukupi menurut ukuran hidup kami penghuni padepokan ini.”

“Tidak ada seorang perempuanpun dipadepokan ini yang dapat menangani kebutuhan kalian sehari-hari yang berhubungan dengan rangkaian hidup kalian. Makan, minum dan sebagainya.”

—- > Bersambung ke bagian 2

3 Tanggapan

  1. ki Gembleh dan ki Widiaxa semakin didepan memacu kuda2 tegar dengan kencangnya…

Tinggalkan komentar